Sound Horeg: Dari Garasi Sunyi ke Gelombang Besar yang Menggetarkan Kota
Gelombang baru musik jalanan yang tumbuh dari speaker rakitan dan ide-ide liar. Kami menyusuri jejaknya: siapa penggeraknya, bagaimana teknologinya, dan mengapa semua orang membicarakannya.
Ritme dari Halaman Rumah
Di sebuah gang sempit yang aromanya campuran kopi tubruk dan kabel solder, kami bertemu Arga—teknisi sekaligus pengarsitek panggung yang menyebut dirinya “tukang dengung”. Dari garasi 3x4 meter, ia merakit menara suara: tumpukan box kayu yang dibelai cat doff hitam, ditopang driver bekas yang ia sulap seperti baru. “Horeg itu bukan cuma keras,” ujarnya. “Horeg itu karakter: nendang, tebal, tapi tetap peluk vokal.”
Fenomena Sound Horeg tumbuh dari kebutuhan sederhana: membuat pesta kampung terdengar seperti festival. Namun jalurnya tak sesederhana volume. Ada eksperimen panjang: dari memilih kayu meranti agar resonansi lembut, sampai memadukan DSP murah dengan preset garapan komunitas.
“Kita belajar dari telinga tetangga: kalau mereka nggak protes, berarti sudah pas.” — Arga
Teknologi: Murah, Cerdas, Beringas
Keunggulan Horeg terletak pada keberanian menggabungkan komponen lintas merek. Driver 15” berpadu dengan horn 1.75”, dikuasai ampli kelas D yang hemat listrik, dan diatur DSP open-source. Alih-alih mengejar merek premium, mereka mengoptimalkan curve respons. “Kalau grafiknya senyum—75Hz naik manis, 3kHz nggak nusuk—berarti siap turun jalan,” kata Sasi, operator FOH yang sering diminta jadi “dokter suara” dadakan.
Kejelian telinga dilatih dari gig kecil: pentas 17-an, pasar malam, sampai car free day. Di sana, Horeg diuji angin, tembok, bahkan warung bakso. Setiap panggung memberi catatan baru, lalu dibagikan di grup obrolan. Inilah R&D versi rakyat: cepat, terbuka, dan selalu siap bongkar pasang.
+230%
Peningkatan penjualan driver 15” dalam 3 bulan
≤ 2.1kW
Daya rata-rata satu rig panggung Horeg
48 Preset
Koleksi kurva EQ komunitas yang dibagikan
Kultur: Dari Kampung ke Kalender Kota
Dulu, Sound Horeg dianggap sekadar “kencengin volume”. Kini, ia menjadi bahasa perayaan—dari arak-arakan juara turnamen sampai temu UMKM. Jadwal manggung mereka mulai masuk kalender resmi kecamatan. Brand lokal merapat, menyumbang banner dan LED. Di balik panggung, tim dokumentasi mem-viral-kan potongan drop dan momen sing along.
Namun ada etika baru yang tumbuh: batas waktu yang jelas, noise gate untuk jam istirahat, dan kolaborasi dengan warga untuk menentukan posisi sub agar tidak mengguncang kaca rumah. Horeg belajar dewasa: keras saat perayaan, sopan saat jeda.
Suara Komunitas
Di forum daring, topik yang paling ramai adalah “titik manis”—jarak andalan antara penonton dan subwoofer agar dada bergetar, bukan telinga yang lelah. Ada pula koleksi impulse response dari balai RW hingga lapangan futsal, yang bisa diunduh bebas untuk simulasi tuning.
“Kita bukan cuma bikin bising,” tutur Naya, koordinator acara. “Kita meracik kebersamaan.” Pada akhirnya, Horeg adalah alasan untuk saling menyapa: operator FOH, penjual cilok, kameramen, sampai bapak-bapak yang biasa jaga parkir. Semuanya berada dalam frekuensi yang sama—frekuensi merayakan.
TL;DR — Apa Itu Sound Horeg?
- Karakter: Bass tebal, mid empuk, vokal peluk, bukan sekadar keras.
- Teknik: DSP open-source, curve ramah telinga, power efisien.
- Kultur: Pesta rakyat yang beranjak jadi agenda kota.
- Etika: Batas waktu, noise gate, dan koordinasi lingkungan.
Ingin mengirim rilis atau foto panggungmu? Hubungi redaksi: redaksi@soundhoreg.id.